Jean Henri Dunant
Jean Henri
Dunant (lahir 8
Mei 1828 – meninggal 30
Oktober 1910 pada umur 82 tahun), yang juga dikenal dengan nama Henry Dunant, adalah pengusaha dan
aktivis sosial dari Swiss.
Dunant lahir di Jenewa, Swiss, putra
pertama dari pengusaha Jean-Jacques Dunant dan istrinya Antoinette
Dunant-Colladon. Keluarganya adalah penganut mashab Kalvin (''Calvinist'') yang taat serta mempunyai pengaruh yang signifikan di
kalangan masyarakat Jenewa. Kedua orangtuanya menekankan pentingnya nilai
kegiatan sosial. Ayahnya aktif membantu anak yatim-piatu dan narapidana yang
menjalani bebas bersyarat, sedangkan ibunya melakukan kegiatan sosial membantu
orang sakit dan kaum miskin.
Dunant tumbuh pada masa kebangkitan
kesadaran beragama yang dikenal dengan nama Réveil. Pada usia 18 tahun, dia bergabung dengan Perhimpunan Amal
Jenewa (Geneva
Society for Alms Giving). Pada
tahun berikutnya, bersama teman-temannya, dia mendirikan perkumpulan yang
disebut ”Thursday Association”, sebuah kelompok anak muda tanpa ikatan
keanggotaan resmi yang melakukan pertemuan rutin untuk mempelajari Bibel dan menolong
kaum miskin. Waktu senggangnya banyak dia habiskan untuk mengunjungi penjara
dan melakukan kegiatan sosial. Pada tanggal 30 November 1852, Dunant mendirikan
cabang YMCA di Jenewa. Tiga tahun kemudian, dia berpartisipasi dalam
pertemuan Paris yang bertujuan membentuk YMCA menjadi sebuah organisasi
internasional.
Pada tahun 1849, ketika berusia 21,
Dunant terpaksa meninggalkan Kolese Kalvin (Collège Calvin) karena prestasi
akademisnya buruk. Dia kemudian menjadi pekerja magang di perusahaan penukaran
uang bernama Lullin et Sautter. Setelah masa magangnya selesai dengan
prestasi baik, dia diangkat sebagai karyawan bank tersebut.
Pada
tahun 1856, Dunant mendirikan perusahaan yang beroperasi di wilayah-wilayah
jajahan luar negeri dan, setelah memperoleh konsesi lahan dari Aljazair yang
ketika itu berada di bawah pendudukan Prancis, dia juga mendirikan perusahaan
perkebunan dan perdagangan jagung bernama Société financière et industrielle
des Moulins des Mons-Djémila (Perusahaan Keuangan dan Industri Penggilingan
Mons-Djémila). Namun, lahan dan hak atas air yang dijanjikan tidak kunjung
ditetapkan dengan jelas, sedangkan otoritas kolonial di Aljazair juga bersikap
kurang kooperatif. Oleh karena itu, Dunant memutuskan untuk meminta bantuan
secara langsung kepada Kaisar Napoleon III dari Perancis, yang ketika itu sedang berada di
Lombardi bersama pasukannya. Prancis sedang berperang di pihak
Piedmont-Sardinia melawan Austria, yang ketika itu menduduki banyak dari
wilayah yang dewasa ini bernama Italia. Markas Napoleon terletak di kota kecil
bernama Solferino. Dunant menulis
sebuah buku yang isinya penuh sanjungan dan pujian bagi Napoleon III untuk dia
hadiahkan kepada kaisar tersebut. Kemudian dia melakukan perjalanan ke
Solferino untuk bertemu secara pribadi dengan Napoleon III.
Dunant
tiba di Solferino pada petang hari tanggal 24 Juni 1859, tepat ketika
pertempuran antara kedua pihak tadi baru saja selesai. Sekitar 38 ribu prajurit
bergeletakan di medan tempur dalam keadaan terluka, sekarat, atau tewas, dan
tidak tampak ada upaya yang berarti yang dilakukan untuk memberikan perawatan
kepada mereka. Dalam keadaan terguncang melihat pemandangan itu, Dunant
berinisiatif mengerahkan penduduk sipil setempat, terutama kaum perempuan,
untuk memberikan pertolongan kepada para prajurit yang terluka dan sakit.
Karena persediaan alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan tidak memadai,
Dunant sendiri mengatur pembelian material yang dibutuhkan itu serta membantu
mendirikan rumah sakit darurat. Dia berhasil meyakinkan penduduk setempat untuk
melayani para korban luka tanpa melihat di pihak mana mereka bertempur, sesuai
dengan slogan “Tutti fratelli” (Kita semua bersaudara) yang diciptakan
oleh kaum perempuan dari kota Castiglione delle Stiviere tak jauh dari tempat
itu. Dia juga berhasil membujuk pihak Prancis untuk membebaskan dokter-dokter
Austria yang mereka tawan.
Sekembalinya ke Jenewa pada awal bulan Juli,
Dunant memutuskan menulis sebuah buku tentang pengalamannya itu, yang kemudian
dia beri judul Un Souvenir de Solferino (Kenangan Solferino). Buku ini
diterbitkan pada tahun 1862 dengan jumlah 1.600 eksemplar, yang dicetak atas
biaya Dunant sendiri. Dalam buku ini, Dunant melukiskan pertempuran yang
terjadi, berbagai ongkos pertempuran tersebut, dan keadaan kacau-balau yang
ditimbulkannya. Dia juga mengemukakan gagasan tentang perlunya dibentuk sebuah
organisasi netral untuk memberikan perawatan kepada prajurit-prajurit yang
terluka. Buku ini dia bagikan kepada banyak tokoh politik dan militer di Eropa.
Dunant juga memulai perjalanan ke seluruh
Eropa untuk mempromosikan gagasannya. Buku tersebut mendapat sambutan yang
sangat positif. Presiden Geneva Society for Public Welfare (Perhimpunan
Jenewa untuk Kesejahteraan Umum), yaitu seorang ahli hukum bernama Gustave Moynier, mengangkat buku ini beserta usulan-usulan Dunant di
dalamnya sebagai topik pertemuan organisasi tersebut pada tanggal 9 Februari 1863.
Para anggota organisasi tersebut mengkaji usulan-usulan Dunant dan memberikan
penilaian positif. Mereka kemudian membentuk sebuah Komite yang terdiri atas
lima orang untuk menjajaki lebih lanjut kemungkinan mewujudkan ide-ide Dunant
tersebut, dan Dunant diangkat sebagai salah satu anggota Komite ini. Keempat
anggota lain dalam Komite ini ialah Gustave Moynier, jenderal angkatan
bersenjata Swiss bernama Henri Dufour, dan dua orang dokter yang masing-masing bernama Louis Appia dan Théodore Maunoir. Komite ini mengadakan pertemuan yang pertama kali
pada tanggal 17 Februari 1863, yang sekarang dianggap sebagai tanggal
berdirinya Komite Internasional
Palang Merah (ICRC).
Pada
tahun 1901, Dunant menerima Hadiah Nobel Perdamaian pertama yang
pernah dianugerahkan, yaitu atas perannya dalam mendirikan Gerakan Palang Merah
Internasional dan mengawali proses terbentuknya Konvensi Jenewa. Dokter militer
Norwegia, Hans Daae, yang pernah menerima satu eksemplar buku tulisan Müller
itu, mengadvokasikan kasus Dunant kepada Panitia Nobel. Hadiah tersebut adalah
hadiah bersama yang diberikan kepada Dunant dan Frédéric Passy, seorang
aktivis perdamaian Prancis yang mendirikan Liga Perdamaian dan yang aktif
bersama Dunant dalam Aliansi untuk Ketertiban dan Peradaban (Alliance for
Order and Civilization). Ucapan selamat resmi yang akhirnya diterima Dunant
dari Komite Internasional Palang Merah merepresentasikan rehabilitasi nama
Dunant.
Di antara beberapa penghargaan lain yang
diterima oleh Dunant pada tahun-tahun berikutnya ialah gelar doktor kehormatan
dari Fakultas Kedokteran University of Heidelberg, yang diterimanya pada tahun 1903. Dunant tinggal di
panti jompo di Heiden hingga akhir hayatnya. Pada tahun-tahun terakhir
hidupnya, dia menderita depresi dan ketakutan (paranoia) bahwa dia terus
dicari-cari oleh para kreditornya dan Moynier. Bahkan Dunant kadang-kadang
mendesak juru masak panti jompo tersebut untuk mencicipi terlebih dulu jatah
makanannya di hadapan dia agar dia terlindung dari kemungkinan diracuni.
Meskipun mengaku tetap berkeyakinan Kristen, Dunant pada tahun-tahun terakhir
hidupnya menolak dan menyerang Kalvinisme dan agama terorganisasi (organized
religion) pada umumnya.
Menurut para juru rawatnya, tindakan terakhir
yang dilakukan Dunant dalam hidupnya ialah mengirimkan satu eksemplar buku
tulisan Müller kepada ratu Italia disertai surat pengantar dari Dunant sendiri.
Dunant meninggal dunia pada tanggal 30 Oktober 1910, dan kata-kata terakhirnya
ialah “Kemana lenyapnya kemanusiaan?” Dunant meninggal hanya dua bulan setelah
musuh bebuyutannya, Moynier. Meskipun ICRC menyampaikan ucapan selamat kepada
Dunant atas penganugerahan Hadiah Nobel tersebut, kedua rival ini tak pernah
berrekonsiliasi.
Sesuai keinginannya, Dunant dikuburkan tanpa
upacara di Kompleks Pemakaman Sihlfeld di Zurich. Dalam surat wasiatnya, dia
mendonasikan sejumlah uang untuk menyediakan satu “ranjang gratis” di panti
jompo di Heiden tersebut, yang harus selalu tersedia untuk warga miskin kawasan
itu. Dia juga memberikan sejumlah uang, melalui akte notaris, kepada
teman-temannya dan kepada organisasi amal di Norwegia dan Swiss. Sisa uangnya
dia berikan kepada para kreditornya sehingga sebagian utangnya lunas.
Ketidakmampuan Dunant untuk sepenuhnya melunasi utang-utangnya menjadi beban
besar baginya hingga hari kematiannya.
Hari
ulang tahunnya, 8 Mei, dirayakan sebagai Hari Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah Sedunia (''World Red Cross and Red Crescent
Day'').
Panti jompo di Heiden yang dulu menampungnya itu sekarang menjadi Museum Henry
Dunant. Di Jenewa dan sejumlah kota lain ada banyak sekali jalan, lapangan, dan
sekolah yang dinamai dengan namanya. Medali Henry Dunant, yang dianugerahkan
setiap dua tahun oleh Komisi Tetap Gerakan Palang Merah dan Palang Merah
Internasional, merupakan penghargaan tertinggi yang dianugerahkan oleh Gerakan.
Ketika melakukan perjalanan untuk
urusan bisnis pada tahun 1859, dia menyaksikan akibat-akibat dari Pertempuran
Solferino, sebuah lokasi yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Kenangan dan
pengalamannya itu dia tuliskan dalam sebuah buku dengan judul A Memory of
Solferino (Kenangan Solferino), yang menginspirasi pembentukan Komite Internasional
Palang Merah (ICRC) pada tahun 1863. Konvensi
Jenewa 1864 didasarkan pada
gagasan-gagasan Dunant. Pada tahun 1901, dia menerima Penghargaan
Nobel Perdamaian yang pertama, bersama
dengan Frédéric Passy.
Oleh : Andrew Kohandi
Sumber Referensi : https://id.wikipedia.org/wiki/Henry_Dunant
0 komentar:
Posting Komentar